Hari ini aku liburan di rumah
saja. Aku tidak kemana-mana. Hari ini aku sedih karena ibuku barusan sakit.
Kakinya terkilir sehingga lutut tak dapat dibengkokkan. Di samping rumah ku ada
rumah nenek yang juga sakit. Nenekku sudah sakit setahun yang lalu. Dia tak
bisa berjalan. Nenek tinggal bersama paman yang
merupakan saudara ibukku yang paling muda. Nenek dirawat anak-anaknya dengan
bergantiaan termasuk ibukku. Meraka menjadwal sendiri dan istiqomah. Ada yang membantu
mencuci pakeannya. Ada yang membantu membuatkan dan menyuapi makanan. Ada pula
yang menemani ketika tidur. Membersihkan buang air besarnya. Membersihkan
tempat tidurnya.
Di lorong gelap penghubung antara
jurang surga dan neraka. Lorong rendah yang lama kelamaan mendaki. Seorang
wanita setengah tua menggendong anak yang lucu dan manis. Pendiam dan tak
banyak gerak. Sepi terasa meski hari terang tetapi kegelapan lorong itu meneror
wanita setengah tua. Ketika langkah pertama wanita itu dipanjatkan. Bunyi kluk
pada kakinya terasa agak nyaring. Sejak itulah wanita setengah tua itu tidak
bisa membengkokkan sendi lututnya. Lorong itu lorong penghubung rumahku dan
rumah nenek. Anak yang digendong ibuku itu adalah anaknya bibik yang tinggal
bersama nenek dititpkan ke ibukku. Sedangkan ibunya sendiri menghadiri acara
pernikahan tetangga.
Sejak kejadian itu kini ibukku
tak bisa berjalan sempurna. Seolah dia bermain enggrang yang tak bisa ditekuk.
Sayangnya enggrang itu dipasang di pinggulnya bukan di betisnya. Sudah dua kali
aku mengantar ibukku ke dukun urut. Tetapi hasilnya nihil tanpa hasil. Aku juga
sudah ke dokter, kata dokter bahwa urat orang tuaku sudah lemah. Aku menyadari
dengan umur 54 tahun pasti sudah tua.
Suntik ditusuk dan obat disodorkan dengan tulisan 2 x 1.
Wanita tua dengan uban disekujur
rambutnya. Wanita ini kadang bercerita yang tidak masuk di akal. Aku sebenarnya
malas mendengar ceritanya. Aku sempatkan untuk mendengar meski tidak kumasukkan
dalam telinga. Wanita tua ini adalah nenekku. Nenek yang sekian lama sudah
memberi tahu tentang makna hidup. Nenek yang menyangi cucunya terutama aku.
Liburan ini meski aku tak ada
agenda. Tetapi agenda seakan datang secara sendirinya. Aku yang mengantar ibuku
bolak balik untuk berobat. Memang dompet lagi tipis tetapi rasanya masih cukup
untuk biaya berobat itu. Aku senang karena aku bisa mengantar beliau. Mumpung beliau
masih ada. Aku ingin sekali membahagiakan beliau.
Wanita tua itu mengintip dibalik
pintu yang terbuka. Dengan pakean compang camping tidak dikancingkan. Sewek
yang dipakai tak ditata selayaknya. Kerudng yang disampirkan di pundaknya. Aku
melihatnya ketika ku sampai mengantar ibuku berobat. Dia juga melihatku seolah
ingin berkunjung melihat keadaan anaknya yang sekarang lagi sakit.
Setelah ibukku sampai di tempat
duduk empuk berwarna hijau. Aku keluar menuju rumah nenekku. Kemudian dia
bertanya kepadaku. “Her makmu gak opo-opo?” (“her “nama panggilannku. Ibumu
tidak apa-apa) ku jawab dengan sedikit rendah dan lembut “Mboeten nopo-nopo mbok”
(tidak apa-apa nek). Kata nenekku lagi, bahwa dia ingin ke rumahku melihat
ibukku. Bisa nek ya. dengan sedikit tenaga, ku bopong ke rumahku. Sesampai di rumah
nampak banyak sekali cerita dari nenekku kepada ibuku.
Kini ibuku masuk ke dalam ruangan
untuk mengambil barang-barang yang ingin dimasaknya. Meski ibuku sakit tetapi beliau aktif membersihkan lantai dan
mau memasak untuk keluarga. Tinggallah aku dan nenekku. Dia mulai bercerita
tentang kejadian yang menurtku tidak masuk akal.
Kata nenekku, dia baru saja
mengunjungi rumah keponakannya yang sangat jauh sebanyak tiga kali. Diasana dia
disambut bangga. Mereka kagum dengan dia. Bagaimana bisa dia dengan kondisi
tidak bisa berjalan tetapi mampir ke sana tiga kali, katanya. Katanya lagi, lho
kok lantaimu putih sejak kapan rumahmu dilantai putih. Padahal lantai ku sudah
diubin hampir 12 tahun. Katanya lagi,
dia juga sering berkunjung ke rumah mbakku yang letaknya juga jauh dari rumah.
Dia juga bercerita tentang sakitnya.
Banyak sekali ceritanya. Akupun tidak mempercayainya. Aku hanya menangguk
sambil mengetik cerita ini. Aku bukan tidak menghiraukannya, karena sesekali
saya juga bertanya” Mimpi kali nek ya?
Ketika aku menanggapi dengan kata
mimpi ya? Beliau membentak saya dan mengatakan itu bukan mimpi tetapi
kenyataan. Aku masih tetap tidak percaya. Ku tanya kembali, kalau kerumah mbak
jalan atau merangkak. Dia tidak bisa menjawab salah satunya. Dia hanya menjawab
ya ndak tahu tetapi saya sungguh sering berkunjung ke rumah embakmu. Ok-ok...
Saya percaya sekarang dalam hati bahwa dia bermimpi.
Aku kini sadar bahwa ketika orang
tua yang sudah udur itu akan sulit membedakan antara kenyataan dan impian.
Mereka ingin sekali berjalan. Ingin sekali berkunjung ke rumah tetangga dan saudara. Sehingga
keinginannya itu sampai terbawa sampai mimpi. Apalagi memori otak sudah tidak
dapat dikontrol. Menjadikan kejadian dalam mimpi diangkat dalam dunia asli. Dia
tidak sadar yang diceritakan adalah mimpi dan yang nyata ternyata adalah mimpi.
Bahkan bisa jadi antara kejadian nyata dan mimpi tiada beda.
Makanya ingat pesen Nabi “gunakan
usia mudahmu sebelum datang usia tuamu”.
Comments
Post a Comment