"Assalamu'alaikum Wr. Wb. Mas, Sdoyo kluputan Qlo njhenegn ngpuntn ngheh lhir lan bathin . . . MINAL'AIDIN WAL FAIDZIN,... Umi Kulsum.
Ketika kubaca SMS itu, runtuh mata keangkuhan. Huruf-demi huruf perhatianku membuat hati akan jatuh. Nada-nada kesopanan membuatku terhempas dalam kesejekukan. Gelombang cinta, kasih, dan sayang seolah diturunkan Tuhan dari SMS itu. Aku tak tahu lagi harus bilang apa. Aku sangat bahagia ternyata engkau masih menyelipkan namaku di ujung syaraf kecil diatara jutaan nouron di otakmu.
Kubaca lagi-lagi dan lagi. Kutimang-timang layar HP ini. Ku sayang-sayang. Huruf-huruf begitu indah. Seindah lautan bergelombang yang menghantamku, tetapi aku selamat. Seindah aku kelaparan engkau telah memberi makan. Seindah aku terdampar dalam lautan kau beri aku tumpangan.
Entah lebay atau hiperbola. Yang jelas leba-lebah di kandang telah menghasilkan mau. Bola-bola sedang di oper kepadaku. Bahagia tak terkira. entah apa yang harus ku ucapkan. Hanya sapaan kecil, tapi efeknya meruntuhkan dunia.
Baru pertama kali dia ada inisiatif SMS. Aku tidak tahu apa dia yang SMS atau orang lain yang membuatkannya. Entah tulisannya acak luar biasa. Atau apalah, yang jelas aku senang- sesenang-senangnya dia SMS kepada ku.
Sebelum itu, dulu aku sering SMS dia. 10 kali SMS baru 1 kali dijawabnya. Apalagi telpon, tidak satupun dia berani mengangkatnya. Semenjak itu aku bersumpah untuk tidak SMS dia, atau telpon dia. Saya anggap HPnya rusak, tak dapat dipakai. Saya beranggapan dia sudah tidak punya nomor.
Semenjak saat itu, saya tidak ada lagi hubungan apapun dengan dia. Sejak saat itu aku cuek. Apa yang engkau derita aku menganggap kamu tidak menderita. Apa yang engkau rasakan aku anggap engkau tidak merasa. Apa yang engkau keluhkan aku tidak akan menyahutkan. Bagaimana saya tahu, kamu tidak beri kabar atau berita.
Hari ini engkau SMS itu. Engkau itu tunanganku. Apakah kamu mengerti betapa aku ingin menghubungimu. Mengapa engkau tidak mengerti bahwa ku menderita disini. Merindukan seseorang sebagai pelipur hati. Apalagi godaan dunia yang tidak ada ujung dan akhirnya. Tapi semuanya hanylah fatamorgana.
Wahai kekasih hati, engkau dambaan hati. Engkau harapan ku, sebagai ibu dari anak-anakku. Wahai calon istriku aku ingin berbicara denganmu, meski hanya satu huruf engkau menjawab pertanyaanku. Huruf itu telah melegakan tanda tanyaku.
Salahkah jika ku inginkan dengar suaramu? Apakah suaramu itu merdu? Ataukah seperti neneklampir yang tertawa di film-film itu? Aku tak peduli, aku ingin bibirmu berkata meski satu huruf saja. Aku tak tahu harus berbicara jurus apa? yang kutahu cuma satu, sabar menunggu kita menikah!!!
Entah ini hubungan apa? aku hanya tahu kamu hafidhoh. Itu alasanku mempersuntingmu. Aku bodoh dalam hal itu. Aku berharap kamu bisa melengkapi hidupku dengan lafadz-lafadzmu. Engkau membentengiku dalam agama yang kau dalami sejak MI itu. Engkau harapanku.
Tapi keinginan tinggal menunggu. Yang jelas pertama kali inisiatif SMS mu telah mengobati sebagian luka hati yang sudah dalam ini. Pertama kali aku tunggu dua, tiga, dan miliaran ketika kita menikah nanti.
Ketika kubaca SMS itu, runtuh mata keangkuhan. Huruf-demi huruf perhatianku membuat hati akan jatuh. Nada-nada kesopanan membuatku terhempas dalam kesejekukan. Gelombang cinta, kasih, dan sayang seolah diturunkan Tuhan dari SMS itu. Aku tak tahu lagi harus bilang apa. Aku sangat bahagia ternyata engkau masih menyelipkan namaku di ujung syaraf kecil diatara jutaan nouron di otakmu.
Kubaca lagi-lagi dan lagi. Kutimang-timang layar HP ini. Ku sayang-sayang. Huruf-huruf begitu indah. Seindah lautan bergelombang yang menghantamku, tetapi aku selamat. Seindah aku kelaparan engkau telah memberi makan. Seindah aku terdampar dalam lautan kau beri aku tumpangan.
Entah lebay atau hiperbola. Yang jelas leba-lebah di kandang telah menghasilkan mau. Bola-bola sedang di oper kepadaku. Bahagia tak terkira. entah apa yang harus ku ucapkan. Hanya sapaan kecil, tapi efeknya meruntuhkan dunia.
Baru pertama kali dia ada inisiatif SMS. Aku tidak tahu apa dia yang SMS atau orang lain yang membuatkannya. Entah tulisannya acak luar biasa. Atau apalah, yang jelas aku senang- sesenang-senangnya dia SMS kepada ku.
Sebelum itu, dulu aku sering SMS dia. 10 kali SMS baru 1 kali dijawabnya. Apalagi telpon, tidak satupun dia berani mengangkatnya. Semenjak itu aku bersumpah untuk tidak SMS dia, atau telpon dia. Saya anggap HPnya rusak, tak dapat dipakai. Saya beranggapan dia sudah tidak punya nomor.
Semenjak saat itu, saya tidak ada lagi hubungan apapun dengan dia. Sejak saat itu aku cuek. Apa yang engkau derita aku menganggap kamu tidak menderita. Apa yang engkau rasakan aku anggap engkau tidak merasa. Apa yang engkau keluhkan aku tidak akan menyahutkan. Bagaimana saya tahu, kamu tidak beri kabar atau berita.
Hari ini engkau SMS itu. Engkau itu tunanganku. Apakah kamu mengerti betapa aku ingin menghubungimu. Mengapa engkau tidak mengerti bahwa ku menderita disini. Merindukan seseorang sebagai pelipur hati. Apalagi godaan dunia yang tidak ada ujung dan akhirnya. Tapi semuanya hanylah fatamorgana.
Wahai kekasih hati, engkau dambaan hati. Engkau harapan ku, sebagai ibu dari anak-anakku. Wahai calon istriku aku ingin berbicara denganmu, meski hanya satu huruf engkau menjawab pertanyaanku. Huruf itu telah melegakan tanda tanyaku.
Salahkah jika ku inginkan dengar suaramu? Apakah suaramu itu merdu? Ataukah seperti neneklampir yang tertawa di film-film itu? Aku tak peduli, aku ingin bibirmu berkata meski satu huruf saja. Aku tak tahu harus berbicara jurus apa? yang kutahu cuma satu, sabar menunggu kita menikah!!!
Entah ini hubungan apa? aku hanya tahu kamu hafidhoh. Itu alasanku mempersuntingmu. Aku bodoh dalam hal itu. Aku berharap kamu bisa melengkapi hidupku dengan lafadz-lafadzmu. Engkau membentengiku dalam agama yang kau dalami sejak MI itu. Engkau harapanku.
Tapi keinginan tinggal menunggu. Yang jelas pertama kali inisiatif SMS mu telah mengobati sebagian luka hati yang sudah dalam ini. Pertama kali aku tunggu dua, tiga, dan miliaran ketika kita menikah nanti.
Comments
Post a Comment